Perjalanan daerah Malang sebagai hunian masyarakat, dapat diidentifikasi sejak masa prasejarah pada fase Neolithik, yaitu suatu jaman kebudayaan yang menghasilkan alat-alat batu yang halus pengerjaannya. Bukti fisik yang sampai kepada kita dari masa Neolithik ini adalah alat-alat yang terdiri dari kapak persegi dan alat pahat yang terbuat dari batu kalsedon, serta kapak genggam dari batu andesit hitam yang ditemukan di kawasan ’kacuk’ Kecamatan Sukun Kota Malang oleh H.R. Van Heekeren, demikian yang disampaikan Dwi Cahyono, narasumber Sinau Sejarah Mulawarsa 2019 mengawali sambutannya Di Museum Mpu Purwa Kota Malang, Sabtu (14/1).

Namun, sebelum kegiatan Sinau Sejarah dibuka oleh Sekretaris Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Malang, Agung Harjaya Buana. Dalam sambutannya, Agung mengatakan kegiatan Sinau Sejarah secara perdana diawali di bulan Januari 2019 dan akan berlangsung sampai dengan akhir November 2019 nanti. “Sinau Sejarah akan dilaksanakan sampai dengan bulan November 2019 dengan narasumber yang berbeda-beda, dari akademisi, sejarahwan dan budayawan”, kata Agung. Tema Sinau Sejarah Mulawarsa 2019 perdana ini mengambil tema “Mahayana Budhisme Sub Area Barat Malang”. Peserta Sinau Sejarah datang dari berbagai masyarakat yang majemuk, salah satunya dari Vihara Padepokan Dhammadipa Arama Kota Batu. Ada juga dari Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sejarah Kota Tulungagung, mahasiswa jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang dan Universitas Kanjuruhan Malang serta dari masyarakat umum. Selanjutnya, Dwi Cahyono menjelaskan bahwa wilayah yang bernama Malang dalam perkembangannya tidak lepas dari pengaruh paham Hindu, sungguh pun kita tahu bahwa daerah Malang merupakan daerah pedalaman yang jauh dari pantai. Masyarakat prasejarah Malang yang awalnya merupakan satuan kecil kelompok-kelompok keluarga yang tinggal di sepanjang aliran Brantas-Metro. Pada awal tarikh Masehi telah menjadi wanua-wanua (desa) dengan federasinya, yaitu watak (kesatuan desa). Apapun alasannya, yang jelas wilayah ’watak’ di Malang tersentuh dan terpengaruh paham Hindu. Kepala watak memproklamirkan diri sebagai raja atau ’narapati’, sedang wilayah ’watak’nya berubah mengikuti sebutan pemimpinnya, yaitu ke-raja-an. Sejak saat itulah dianut sistem pemerintahan baru ala India yang menyelimuti sistem lama.

Bukti pengaruh paham Hindu di Malang itu sudah bukan menjadi berita yang asing lagi. Prasasti Dinoyo tahun 682 saka atau 760 M, merupakan prasasti yang tertua di Jawa Timur. Itulah bukti otentik bahwa masyarakat Malang mulai mengenal tulisan. Huruf prasasti adalah huruf perkembangan dari huruf Pallawa India, untuk itu dinamakan huruf Jawa kuno yang tertua. Akan tetapi bahasanya menggunakan bahasa sastra tinggi, yaitu sansekerta yang berbentuk syair. Dalam prasasti Dinoyo disebutkan adanya sebuah kerajaan yang perhatian besar terhadap upacara keagamaan. Untuk itu didirikan asrama kependetaan lengkap dengan rumah besar untuk tempat tinggal para brahmana tamu. Penelitian di lapangan di daerah Dinoyo, tepatnya di lingkungan Watugong Tlogomas, ditemukan sejumlah 13 batu gong. Fungsi dari batu gong diduga merupakan suatu umpak dari tiang penyangga bangunan. Di sekitarnya terdapat temuan pondasi dari bata merah serta sisa-sisa lantai dari bata merah terpendam di dalam tanah dengan kedalaman ± 30 cm, yang menurut informasi penduduk luas lantai tersebut berukuran sekitar 25x75m. Tidak jauh dari kemungkinan di sanalah letak asrama perguruan keagamaan yang dimaksud di dalam prasasti Dinoyo.

Sementara itu, masih Kata dwi Cahyono Sumber lain yang memberikan informasi tentang adanya aktifitas sosial dan keagamaan di Malang yaitu prasasti Dinoyo ke 2 yang ditemukan tahun 1985 di jalan MT Haryono, ketika orang menggali tanah di sepanjang jalan MT Haryono untuk saluran air. Prasasti yang berangka tahun 851 M dan 898 M tersebut memuat berita tentang sawah wakaf untuk asrama perguruan yang dipimpin oleh Dang Hyang Guru Candik yang diberikan pada tahun 851 M, telah dijual oleh para tetua desa kepada para tetua desa lain. Kasus ini kemudian diketahui oleh keturunan pejabat yang memberi sawah wakaf. Sehingga pada tahun 898 M sawah itu ditebus kembali dan diserahkan lagi kepada asrama perguruan (Suwardono, 2004:77-79). Dari situ dapat diketahui adanya asrama perguruan yang merupakan wiyata mandala keagamaan. Apalagi disebutkan adanya tokoh Dang Hyang Guru, yang jaman sekarang tokoh ini setingkat dengan guru besar.

Masa pemerintahan Pu Sindok dari kerajaan Medang yang hijrah ke Jawa Timur, daerah Malang tetap merupakan daerah yang penting. Sebagian besar prasasti Pu Sindok ditemukan di daerah Malang. Salah satunya adalah prasasti Muncang yang kini disimpan di Balai Penyelamatan Benda Cagar Budaya Pu Purwa kota Malang, merupakan salah satu bukti perhatian Pu Sindok terhadap perkembangan daerah Malang. Juga Prasasti Kanuruhan (Bunul) yang berangka tahun 935 M yang dikeluarkan oleh Rakryan Kanuruhan Dyah Mungpang atas nama Pu Sindok. Masa pemerintahan sesudahnya, tampaknya daerah Malang tidak ditinggalkan. Di sekitar Dinoyo, di dukuh ’Candri’ kelurahan Merjosari kecamatan Lowokwaru, ditemukan sejumlah 10 buah umpak batu berukuran besar berbentuk bundar dengan permukaan datar (sekarang tinggal 8 dan berada di kampus UNIGA). Tidak jauh dari tempat tersebut di sebelah timurnya terdapat tinggalan arkeologis lain, yaitu arca Singa yang diduga merupakan sebuah stambha (tugu). Arca singa tersebut dalam posisi jongkok, dan pada permukaan bagian dada dipahatkan angka tahun bentuk ’kwadran’, yang sementara ini diduga berangka tahun 941 saka atau tahun 1019 M (hasil penelitian di lapangan). Di sebelah barat situs batu umpak, yaitu di lahan yang sekarang gedung Pascasarjana UNIGA, ditemukan arca Budha Amoghasiddhi dengan posisi berdiri dari perunggu (sekarang disimpan di ruang Pascasarjana UNIGA).

Indikator umpak menujukkan adanya sebuah bangunan rumah besar, dan tentunya bukanlah rumah besar keraton atau istana. Alasan tersebut dikemukakan berkenaan dengan penemuan arca Budha dari perunggu tidak jauh dari tempat tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa tempat itu merupakan perguruan agama Budha. Arca stambha singa menguatkan dugaan ini. Arca singa yang ditemukan hanya satu itu tentunya bukanlah dimaksudkan sebagai arca penjaga pintu masuk bangunan candi seperti yang terdapat pada candi Borobudur. Itu merupakan ’stambha’ singa yang dimaksudkan sebagai tugu lambang kekuatan agama Budha yang ditempatkan di halaman ’Vihara’ perguruan. Di dalam perjalanan sejarahnya, sang Budha Sidharta Gautama mendapat julukan ’Singa’ dari suku Sakya. Dengan argumen ketiga benda temuan tersebut nyatalah bahwa di daerah Candri-Merjosari dahulunya pernah menjadi asrama perguruan agama Budha. Sebenarnya masih banyak lagi bukti-bukti peninggalan masa Hindu Budha di Malang yang mengindikasikan sebuah asrama perguruan keagamaan, seperti di daerah ’Ngreco’ Sumbersari-Bandulan kecamatan Sukun. Di sana dahulu banyak ditemukan arca-arca kecil, batu kenong, serta banyaknya bata merah. Indikasi tersebut dapat diketahui oleh penduduk sekitar tahun 1950-an. Sekarang daerah tersebut sudah menjadi lahan pekuburan. Juga di daerah Kabalon Kedungkandang seperti yang diberitakan oleh Pararaton, di sekitar pertemuan sungai Brantas-Bango di daerah Kutobedah banyak ditemukan arca-arca dan juga tempat-tempat semacam panepen (mandala kadewaguruan). di Polowijen sekitar makam umum yang juga diberitakan oleh Pararaton, terdapat fragmen bata merah sisa-sisa pondasi bangunan rumah besar serta sebuah batu umpak berbentuk kenong (gong kecil), juga temuan sebuah goa/lorong bawah tanah di RT01 RW03 dan RT03 RW03. Di dalamnya terdapat indikasi yang menunjuk kepada sebuah pertapaan. * Abdurokhim-Disbudpar Kota Malang.

Sejarah Bedah Koleksi Museum Mpu Purwa #2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *