Sumber : Kompas
MELALUI kisah Ramayana dan Mahabarata, India menyebarkan kebudayaan ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Cerita fiksi berusia ribuan tahun ini menjadi bagian dari kebudayaan Indonesia hingga sekarang.
Pada periode klasik Hindu-Buddha, dari Pulau Jawa muncul cerita Panji yang menyebar hingga ke Thailand, Malaysia, Singapura, Laos, Myanmar, dan Kamboja. Di tanah asalnya, Malang, Jawa Timur, kisah klasik itu terus dihidupkan oleh wayang topeng.
Dusun Kedungmonggo tidak ubahnya seperti dusun-dusun lain yang tergempur modernisasi. Di sepanjang jalan yang menghubungkan Kota Malang dengan Blitar, rumah tembok bertebaran di antara ladang tebu dan areal persawahan. Antena parabola menyembul dari beberapa atap rumah.
Di dusun kecil itu, Tri Handoyo (35) meneruskan tradisi leluhurnya, membuat topeng untuk pertunjukan wayang topeng Malangan. Bersama kakaknya, Soeroso, Handoyo mewarisi Padepokan Panji Asmorobangun yang didirikan kakeknya, almarhum Karimoen, legenda wayang topeng Malangan.
Di atas tanah seluas 250 meter persegi, Karimoen, mewariskan pendopo kecil dan bangunan sederhana yang digunakan Handoyo untuk melatih tari, karawitan, serta mementaskan drama wayang topeng. Di bangunan itu pula, Handoyo bersama Raimun dan Sunarti, kakak perempuannya, meneruskan pembuatan topeng yang ditekuni Karimoen sejak tahun 1970-an.
Sebulan sekali, tiap Minggu Legi (kalender Jawa), seluruh properti seperti gamelan, topeng dan kostum pentas dikeluarkan untuk pentas wayang topeng. Kegiatan ini merupakan bagian dari ritual bersih desa warga Kedungmonggo. Mereka yang ikut pentas tidak hanya orang dewasa, tetapi juga anak-anak dan orang lanjut usia.
“Kami menyajikan drama wayang topeng secara lengkap. Ada 30 awak padepokan yang siap pentas. Durasi pentas disesuaikan, bisa 30 menit atau semalam suntuk,” kata Handoyo.
Beberapa sanggar dan padepokan seni masih aktif menggeliatkan kesenian wayang topeng, meski kesempatan pentas tidak seramai masa puncak kejayaan wayang topeng tahun 1930-1980-an.
Di daerah Tumpang, M Soleh Adi Pramono melatih menari di padepokan seni Mangun Dharma yang ia dirikan tahun 1989.
Sanggar Galuh Candra Kirana di Jambuwer yang dipimpin Djiono Bardjo aktif latihan sejak tahun 1958. Di Glagahdowo, ada Mbah Gimun dan Mbah Jakimin yang bertahan dengan sanggar Sri Margo Utomo sejak tahun 1939.
Sebelum Majapahit
Wayang topeng Malangan dikenal jauh sebelum berdirinya Kerajaan Majapahit. Dalam buku Topeng Dhalang di Jawa Timur karya Soenarto Timoer, tertulis wayang topeng ada sejak abad ke-10 Masehi, yaitu pada masa Kerajaan Mataram Kuno. Seperti pada wayang kulit, topeng juga mengalami transformasi.
Topeng awalnya bukan benda yang berfungsi estetika, melainkan sebagai perantara pemujaan roh nenek moyang. Sebagai bagian dari ritual, topeng tidak ditarikan, tetapi dipakai untuk menutupi wajah oleh syaman (dukun) dan keluarga yang ingin bertemu roh leluhur.
Di lingkungan kerajaan, tradisi itu sudah hilang, berganti dengan pemujaan kepada dewa- dewa. Namun, di tengah masyarakat, topeng sebagai bagian ritual pemujaan masih hidup. Karena tidak lagi memiliki fungsi ritual bagi keluarga kerajaan, di istana topeng diadopsi menjadi seni pertunjukan drama tari wayang topeng.
Drama tari ini diperagakan para penari dengan memakai topeng bermacam karakter, sementara dialognya diucapkan oleh dalang.
Ketika Mataram Kuno dipindahkan ke Jawa Timur akibat bencana Gunung Merapi, kesenian topeng terus berkembang hingga masa Kerajaan Kediri dan Singasari. Topeng “merembes” keluar dinding istana dan mulai dikenal rakyat jelata.
Ada versi lain yang mengatakan, wayang topeng digubah pada masa Kerajaan Kediri dan Singasari sekitar abad ke-11-12 Masehi. Petilasan Kerajaan Singasari ini berada di wilayah Kecamatan Singasari, Kabupaten Malang. Keberadaan kesenian wayang topeng Malangan ada di relief beberapa candi, seperti Candi Badut dan Candi Singasari.
Soleh dalam Drama Tari Wayang Topeng Malang menyatakan, pada masa Singasari diperintah oleh Raja Kertanegara (1268-1298), muncul lakon Panji. Kisah ini bercerita tentang percintaan Raden Inu Kertapati (Panji Asmorobangun) dengan Dewi Sekartaji. Sebelumnya, wayang topeng mengambil lakon Ramayana dan Mahabarata.
Ketika Majapahit berkuasa menggantikan Singasari, wayang topeng dengan cerita Panji menyebar ke Bali dan ke arah barat. Cerita Panji kemudian dikenal hingga ke Asia Tenggara.
Ketika Organisasi Menteri Pendidikan Se-Asia Tenggara- Pusat Regional untuk Arkeologi dan Fine Art (SEAMEO-SPAFA) akan mengadakan Festival Panji Internasional 2-6 Maret 2013, Malang diminta mengirimkan peserta ke Bangkok.
Keberadaan wayang topeng Malangan mulai ditelusuri oleh Theodoor Gautier Thomas Pigeaud, ahli literasi Jawa dari Belanda. Dalam bukunya Javaanse Volksvertoningen, Pigeaud menemukan ahli pembuat topeng bernama Mbah Reni yang bekerja di kantor Kabupaten Malang sekitar tahun 1930.
Pelacakannya juga menemukan Yai Nata dari Dusun Slelir (1930-an) dan Wiji dari Kopral (1930-an). Generasi berikutnya dikenal Kangseng dari Jabung (1950-an), Karimoen dari Kedungmonggo (1970-an), dan Tris dari Tumpang (1980-an).
Yongki Irawan dari Lembaga Kesenian Indrakila mengatakan, wayang topeng Malangan sulit berkembang karena pewarisnya sering kali terlibat konflik internal. Diperlukan kecerdasan untuk bisa bertahan hidup.