Kemana anda pergi saat liburan atau akhir pekan tiba? Ke pantai? Gunung? Mall? Atau beragam tempat wisata lainnya? Jarang sekali yang akan menjawab museum karena memang berkunjung ke museum belum menjadi gaya hidup orang Indonesia. Mendengar kata museum yang terlintas di pikiran kita biasanya segala sesuatu yang tua dan kuno serta tidak menarik. Baik anak-anak maupun orang dewasa sama-sama enggan ke museum. Kalaupun ada segerombolan anak berkunjung ke museum biasanya karena tugas dari guru di sekolah. Cukup jarang yang datang karena suka melakukannya. Menjawab semua itu, dalam rangka bulan kunjungan Museum, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang Sukses menggelar acara yang bertajuk “Ayo Sobo Museum”, bertempat di Museum Mpu Purwa, Minggu, 25 November 2018.


Hadir dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang, Dra. Wiwik Wiharti Rodiah, M.Si selaku Kepala Museum Mpu Purwa didampingi Nurul Azizah, Administrasi Sejarah, Nilai Tradisi dan Permuseuman. Sedangkan narasumber didatangkan dari Universitas Negeri Malang, Drs. Dwi Cahyono. M.Hum. Sedikitnya 20 mahasiswa dari Universitas Budi Utomo Malang, yang turut hadir dan mengikuti di acara tersebut, sementara dari masyarakat umum berjumlah 30 orang. Dwi Cahyono, menjelaskan bahwa Perjalanan daerah Malang sebagai hunian masyarakat, dapat diidentifikasi sejak masa prasejarah pada fase Neolithik, yaitu suatu jaman kebudayaan yang menghasilkan alat-alat batu yang halus pengerjaannya. Bukti fisik yang sampai kepada kita dari masa neolithik ini adalah alat-alat yang terdiri dari kapak persegi dan alat pahat yang terbuat dari batu kalsedon, serta kapak genggam dari batu andesit hitam yang ditemukan dikawasan ’kacuk’ kecamatan Sukun kota Malang oleh H.R. Van Heekeren. Sementara sebaran benda-benda megalithik berupa dolmen (meja batu) ditemukan di daerah Celaket, menhir (tugu batu) di daerah Celaket, batu lumpang ditemukan di Watugong Tlogomas, Sumbersareh-Pisangcandi, Kocek-Bandulan, dan Sentono-Kotalama. Batu dakon di dapatkan di Klayatan dan aliran sungai Metro dekat Gasek, serta batu gores didapatkan di bibir sungai Metro kawasan Tlogomas.


Benda-benda tersebut, masih menurut Dwi Cahyono, tersebar sepanjang sungai Metro dan Brantas di kawasan Malang. Juga pada jaman selanjutnya yaitu jaman logam, Malang menampilkan tinggalan berupa kalung perunggu dan cincin perunggu (Team Hari Jadi Kab. Malang). Adanya barang-barang logam menunjukkan tingkat kepandaian manusia dalam hal ketrampilan teknis mengenai sistem pengecoran logam. Semua peralatan neolithik, benda-benda megalithik erat hubungannya dengan kehidupan masyarakat bercocok tanam. Sedangkan perunggu mengindikasikan bahwa masyarakat prasejarah di Malang telah mengenal peradaban tingkat lanjut dalam bentuk pengecoran logam.


Wilayah yang bernama Malang dalam perkembangannya tidak lepas dari pengaruh paham Hindu, sungguh pun kita tahu bahwa daerah Malang merupakan daerah pedalaman yang jauh dari pantai. Masyarakat prasejarah Malang yang awalnya merupakan satuan kecil kelompok-kelompok keluarga yang tinggal di sepanjang aliran Brantas-Metro. Pada awal tarikh Masehi telah menjadi wanua-wanua (desa) dengan federasinya, yaitu watak (kesatuan desa). Apapun alasannya, yang jelas wilayah ’watak’ di Malang tersentuh dan terpengaruh paham Hindu. Kepala watak memproklamirkan diri sebagai raja atau ’narapati’, sedang wilayah ’watak’nya berubah mengikuti sebutan pemimpinnya, yaitu ke-raja-an. Sejak saat itulah dianut sistem pemerintahan baru ala India yang menyelimuti sistem lama.


Sementara itu, bukti pengaruh paham Hindu di Malang itu sudah bukan menjadi berita yang asing lagi. Prasasti Dinoyo tahun 682 saka atau 760 M, merupakan prasasti yang tertua di Jawa Timur. Itulah bukti otentik bahwa masyarakat Malang mulai mengenal tulisan. Huruf prasasti adalah huruf perkembangan dari huruf Pallawa India, untuk itu dinamakan huruf Jawa kuno yang tertua. Akan tetapi bahasanya menggunakan bahasa sastra tinggi, yaitu sansekerta yang berbentuk syair. Dalam prasasti Dinoyo disebutkan adanya sebuah kerajaan yang perhatian besar terhadap upacara keagamaan. Untuk itu didirikan asrama kependetaan lengkap dengan rumah besar untuk tempat tinggal para brahmana tamu. Penelitian di lapangan di daerah Dinoyo, tepatnya di lingkungan Watugong Tlogomas, ditemukan sejumlah 13 batu gong. Fungsi dari batu gong diduga merupakan suatu umpak dari tiang penyangga bangunan. Di sekitarnya terdapat temuan pondasi dari bata merah serta sisa-sisa lantai dari bata merah terpendam di dalam tanah dengan kedalaman ± 30 cm, yang menurut informasi penduduk luas lantai tersebut berukuran sekitar 25x75m. Tidak jauh dari kemungkinan di sanalah letak asrama perguruan keagamaan yang dimaksud di dalam prasasti Dinoyo. * (Rokhim-Disbudpar Kota Malang).

“AYO SOBO MUSEUM” Sukses Digelar di Museum Mpu Purwa Kota Malang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *